PENDAHULUAN
Kima (Tridacnidae) dikenal sebagai kerang raksasa dimana
sebagian besar spesies yang ada di seluruh dunia terdapat di perairan Indonesia.
Pada saat ini populasi kima di alam menurun sangat drastis akibat dari berbagai
faktor terutama dari aktivitas manusia. Hasil survei di beberapa tempat di
Indonesia juga menunjukkan rendahnya kepadatan hewan ini. Oleh karena itu untuk
menjaga / melestarikan populasi yang masih ada serta meningkatkan populasi di
alam diperlukan usaha-usaha konservasi. Namun dilain pihak, prospek secara
ekonomis dari hewan ini sangat besar, baik sebagai hewan akuarium, makanan laut
(seafood), suvenir, dan sebagainya. Mengingat pula bahwa kima termasuk hewan
yang dilindungi di Indonesia dan masuk dalam Appediks II dari CITES, maka
diperlukan usaha budidaya untuk memenuhi permintaan pasar berbasis pada
kegiatan konservasinya.
Hewan ini mempunyai harga yang sangat tinggi di luar
negeri. Tingginya permintaan kima ini mengakibatkan eksploitasi yang berlebih
(overexploitation) dari populasi kima di alam, sehingga populasi tersebut
menurun sangat drastis di seluruh dunia (Hirschberger, 1980; Pearson, 1977; Villanoy dkk. 1988; Junio dkk.
1989; Ambariyanto dkk., 2000).
Secara biologis hewan ini dikenal sebagai kerang raksasa
yang termasuk dalam keluarga Tridacnidae yang hidup di ekosistem karang di
wilayah Indo-Pacific. Dari utara ditemukan di wilayah Jepang Selatan hingga ke
sekitar Great Barrier Reef bagian selatan. Sedangkan dari barat ditemukan di
pantai timur Afrika hingga ke Negara-negara Pasifik Selatan.
DESRIPSI KIMA (Tridacnidae)
A. TAKSONOMI KIMA
Phylum
: Mollusca
Kelas : Pelecypoda/ Bivalvia
Sub
Kelas : Eulamellibranchia
Ordo :
Cardiaceae
Famili :
Tridacnidae
Genus : Tridacna
Hippopus
Spesies : Tridacna gigas Linnaeus, 1758
Tridacna squamosa Linnaeus, 1758
Tridacna
derasa Roding, 1798
B. MORFOLOGI
Morfologi
dari tiap-tiap jenis ditentukan oleh bentuk bagian luar dari cangkangnya.
Perbedaan-perbedaan yang khas dari cangkang dapat merupakan petunjuk bagi
identifikasi sampai tingkat jenis.
Cangkang kima terdiri dari dua tangkup simetris yang
terbuat dari zat kapur, yaitu unsur kalsium karbonat (CaCO3).
Cangkang kima pada umumnya berwarna putih kekuningan. Permukaan cangkang bagian
luar membentuk lekukan dan tonjolan yang tersusun sedemikian rupa sehingga
terbentuklah bangunan seperti kipas. Pada bagian yang menonjol tersebut
terdapat lipatan berupa lempengan-lempengan yang tajam dan tersusun rapih. Pada
tiap-tiap jenis kima lipatan-lipatan tersebut agak berbeda.
Bagian engsel (hinge) merupakan bagian ventral,
sedangkan bagian tepi yang menghadap ke atas atau bagian yang bebas merupakan
bagian dorsal. Pada bagian ventral didapatkan lubang tempat keluarnya
alat perekat (bysus) yang disebut bysal oryface. Bagian dorsal
merupakan bagian yang membuka dan menutup bila kerang ini tersentuh oleh suatu
rangsangan. Bagian depan disebut anterior, yaitu bagian yang berada di bagian
umbo mengarah kepadanya, sedangkan bagian yang berlawanan arah dengan anterior
disebut bagian posterior (Mudjiono, 1988). Gambar kima dapat
dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Kima Tridacnidae
Perkembangan
embrio moluska, khususnya
jenis kima adalah
sebagai berikut :
- Telur dan sperma terjadi
fertilisasi
- Setelah
12 jam kemudian, terbentuk larva trocophore bercilia
- 48
jam setelah fertilisasi larva
trocophore membentuk larva
veliger
· Selanjutnya berkembang
menjadi larva pedipveliger yakni
veliger yang memiliki
kaki.
Fase ini masih
berenang bebas dan
tak lama akan
mencari substrat yang
sesuai.
· Setelah berumur
9 hari dari
fertilisasi, larva telah
menetap di dasar
substrat dan
mengalami metamorfosis
menjadi juvenil pada
ukuran 200 µm .
C. STATUS POPULASI ALAM KIMA SAAT
INI
Banyak laporan dan penelitian yang menunjukkan menurunnya
populasi kima di alam di beberapa tempat di Indonesia serta di beberapa wilayah
di negara lain. Brown dan Mukanafola (1985) melaporkan bahwa kepadatan kima di
beberapa pulau di Karimunjawa adalah sebesar 0,001 - 0,125 individu/m2. Laporan
yang lebih mutakhir menunjukkan bahwa kepadatan kima masih relatif sama,
misalnya di pulau Burung dilaporkan sebesar 0,03 individu/m2 (Hadi, 2000),
pulau Cemara Kecil dan Gosong Cemara sebesar 0,02 dan 0,04 individu/m2. Hasil
survei terakhir menunjukkan populasi kima di Karimunjawa khususnya di taka
Puspa (antara Menjangan Kecil dan Menjangan Besar) hanya sebesar 0,08
individu/m2 dan hanya ditemukan spesies kecil Tridacna crocea (Ambariyanto,
2007 tidak dipublikasikan).
Kondisi yang hampir sama juga dilaporkan, misalnya di
Teluk Cenderawasih dilaporkan mempunyai kepadatan yang rendah yakni sebesar
0,07, 0,06 dan 0,06 individu/m2 di pulau Pepaya, Tridacna Atol dan Kabuai
(Pranowo, 1998). Sedangkan laporan dari pulau Barang Lompo dan Bone Batang,
Makassar mempunyai kepadatan sebesar 0,06 dan 0,1 individu/m2 (Ramli,
1999). Data lebih mutakhir juga hampir
sama dimana kepadatan kima di perairan sekitar Krakatau (Krakatau Kecil, Anak
Krakatau, Rakata, Sebuku) sebesar 0,017 individu/m2, beberapa pulau di
Kepulauan Seribu (Pramuka, Semak Daun, Karang Congkak) sebesar 0,07
individu/m2dan di perairan sekitar Manado (P Tanjung Pisok, Nudi Retreat, Batu
Gosok dan Serena west) sebesar 0,03 individu/m2.
Pada umumnya hasil-hasil penelitian tersebut menunjukkan
bahwa populasi kima di alam didominasi oleh spesies – spesies kecil seperti
Tridacna crocea, T. maxima. Sedangkan spesies besar seperti T. derasa, T.
squamosa. Hipippus hipoppus dan H. porcellanusi sudah sangat jarang ditemukan.
Bahkan untuk spesies terbesar yakni T. gigas sudah tidak ditemukan lagi di
beberapa tempat.
Dibandingkan dengan di
negara-negara lain, maka kepadatan kima di beberapa tempat di Indonesia
tersebut relatif lebih rendah. Sebagai contoh, di Takapoto Lagoon, North
Tuamotu, Frech Polynesia kepadatan kima dilaporkan sebesar 0,14 individu /m2
(Richard, 1981), selanjutnya di Cook Island kepadatan kima dilaporkan sebesar
0,2 – 5,4 individu/ m2 (Sims dan Howard, 1988), sedangkan di One Tree Island,
Australia dilaporkan sebesar 0,16 – 0,17 individu/m2 (Ambariyanto, 1996).
D.
JENIS-JENIS KIMA DI INDONESIA
Di Indonesia terdapat tujuh dari
sembilan jenis kima di dunia yang terdiri dari dua genera yiatu Tridacna
dan Hippopus. Ketujuh jenis tersebut adalah T. gigas, T. derasa, T.
squamosa, T. maxima, T. crocea, Hippopus hippopus dan H. porcellanus
(Ismedi, 2010; Mudjiono, 1988). Beberapa jenis kima dapat dilihat pada Gambar 3.
Deskripsi dan habitat dari jenis-jenis kima tersebut
menurut Lucas (1988) adalah sebagai berikut :
1.
T. gigas
Spesies
ini adalah spesies terbesar, panjangnya dapat mencapai 100 cm dan beratnya
berkisar 200 sampai 500 kg. Cangkangnya berwarna putih, menyerupai kipas
(tampak dari samping) dengan lekuk-lekuk yang dalam, tepian cangkang memanjang,
berbentuk triangular. Individu yang besar cangkangnya tidak dapat menutup
secara menyeluruh karena perkembangan mantelnya yang sangat besar. Umumnya
ditemukan di atas pasir dan di antara terumbu karang di daerah perairan
dangkal, namun dapat juga ditemukan pada kedalaman 20 m. Beberapa individu
bahkan terpapar selama air surut.
2.
T. derasa
Spesies
ini adalah kedua terbesar, panjangnya dapat mencapai 50 cm atau lebih, cangkang
putih dan halus, gigi pada tepi bibir bundar, cangkang tebal dan berat. T.
derasa sering sulit dibedakan dengan spesies lain, H. porcellanus
yang juga memiliki cangkang putih, sangat halus dan bibir tepian yang bundar.
Juvenil dari T. derasa dan T. gigas juga serupa penampakannya.
Untuk membedakan, T. gigas memiliki lekuk yang dalam pada permukaan
cangkangnya. Selain itu, mantel T. derasa warnanya selalu tampak terang
(biru dan hijau), sementara T. gigas biasanya berwarna tidak menarik
(kuning kecokelatan hingga cokelat). Sering ditemui pada sisi terluar daerah
terumbu karang pada kedalaman 4 sampai 20 m dan tersebar di lingkungan laut
sekitar karang tepi dekat pulau.
3.
T. squamosa
Spesies
ini panjangnya dapat mencapai 30 sampai 40 cm, cangkang yang sama sisi dengan
sisik bergalur yang lebar yang membesar hingga tepian katup. Warna cangkang
bervariasi, beberapa berwarna putih, atau warna kuning lemon. Kerang ini
melekat dengan bysus ke karang hidup atau patahan-patahan karang pada
kedalaman lebih dari 18 m pada karang yang biasanya didominasi oleh Acropora,
ditemukan baik pada daerah oseanik maupun terumbu karang yang dekat dengan
garis pantai.
4.
T. maxima
Spesies
ini panjangnya dapat mencapai 30 sampai 40 cm walaupun sering lebih kecil,
mantel berwarna cerah, cangkang memanjang ke satu sisi dengan sisik-sisik yang
rapat pada daerah tepi, warna cangkang beragam mulai dari putih biasa hingga
kuning, atau putih dengan sedikit warna orange. Kerang ini melekat setengah
atau melekat utuh pada permukaan karang.
5.
T. crocea
Spesies
ini adalah yang terkecil, hanya sepanjang sekitar 15 cm. Cangkang putih dengan
sedikit warna orange-pink atau kuning baik pada sisi dalam maupun pada sisi
luar cangkang. Mantel biasanya berwarna terang seperti T. maxima tetapi
dapat dibedakan oleh bentuk cangkang oval segitiga. Kima ini tertanam dalam
karang batu besar di permukaan terumbu karang, hanya tepi cangkang dan mantel
yang dapat terlihat.
6.
H. hippopus
Spesies
ini panjangnya dapat mencapai 50 cm, cangkang keras, berat dan berbentuk
memanjang hingga segitiga dengan sisik atau duri kecil. Beberapa cangkang
memiliki tonjolan, cangkang berwarna cokelat, abu-abu pudar atau hijau.
Ditemukan di daerah berpasir pada area terumbu karang.
7.
H. porcellanus
Jenis
ini lebih tipis dan lebih halus dari cangkang H. hippopus, biasanya
tidak berwarna strawberry, mantel berwarna hijau zaitun. H. porcellanus
mudah dibedakan dengan H. hippopus karena memiliki papillae atau
tentakel di sepanjang incurrent siphon. Ditemukan hidup pada daerah
berpasir sekitar terumbu karang.
E. KELIMPAHAN
DAN UKURAN KIMA
Di beberapa daerah menunjukkan perbedaan kelimpahan dan
ukuran kima. Salah satunya seperti yang diilaporkan oleh Chantrapornsyl et
al (1996), bahwa di sekitar Pulau Lee-Pae yang terletak di pantai barat
daya Thailand, kepadatan kima di wilayah tersebut adalah 24,41 individu per 100
m2 untuk jenis T. crocea dan 6,30 individu per 100 m2
untuk jenis T. maxima. Sedangkan panjang tubuh berkisar antara 2 sampai
14 cm untuk jenis T. crocea dan 2 sampai 31 cm untuk jenis T. maxima,
atau ukuran tubuh rata-rata T. crocea dan T. maxima berturut-turut
adalah 7,93 cm dan 11,67 cm.
Menurut Mudjiono (1988), tiap jenis kima
mempunyai ukuran yang berbeda-beda. Jenis kima terbesar adalah T. gigas.
Ukuran panjang (anterior-posterior) jenis ini dapat mencapai lebih dari 100 cm.
Pada awal abad ke 20 di Filipina pernah ditemukan T.gigas dengan berat
263 kg dan di perairan Sumatera ditemukan juga T. gigas yang mempunyai
ukuran panjang 137 cm dan berat 230 kg. Jenis kima inilah yang sebenarnya
disebut orang kerang raksasa.
KONSERVASI
KIMA
Status keberadaan kima secara keseluruhan untuk semua
jenis, dikategorikan sebagai satwa langka yang dilindungi undang-undang, yaitu
Undang-Undang No.5 Tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya alam hayati dan
ekosistemnya serta Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang pengawetan
tumbuhan dan satwa. Konvensi perdagangan internasional untuk spesies tumbuhan
dan satwa liar yang terancam punah
(CITES) memasukkan kelompok hewan ini dalam daftar hewan yang dilindungi sejak
1983. Saat ini, sebanyak tujuh spesies kima masuk dalam daftar merah (terancam
punah) dari international Union for Conservation and Natural Resources
(IUCN).
Salah satu kegiatan konservasi yakni restocking populasi
alam hanya dapat dilakukan jika kegiatan budidaya kima berjalan.
Juvenil-juvenil kima hasil produksi budidaya ini dapat dimanfaatkan dalam usaha
mengembalikan dan meningkatkan populasi kima di alam.
Salah satu akibat yang signifikan dan berpengaruh positip
terhadap konservasi kima dengan kegiatan budidaya adalah berkurangnya kegiatan
pengambilan populasi alam untuk memenuhi permintaan dan kebutuhan masyarakat
lainnya.
Untuk itu diperlukan dukungan dari pemerintah melalui
kebijakan-kebijakan yang mengarah kepada usaha budidaya berbasis konservasi,
antara lain:
1.
Peraturan
mengenai hasil budidaya yang dapat diperdagangkan
2.
Sertifikasi
hasil produk budidaya
3.
Kebijakan
mengenai usaha pengembalian populasi alam dari berbagai hewan yang masuk dalam
golongan endangered species
4.
Kebijakan
mengenai dukungan pendanaan terhadap usaha-usaha konservasi kima.
Pada saat ini populasi kima di alam cenderung menurun
dengan sangat drastis (Ambariyanto, 2007). Untuk menjaga kelestarian populasi
yang masih ada serta meningkatkan populasinya di alam, diperlukan usaha-usaha
konservasi. Untuk mendukung keberhasilan usaha-usaha konservasi juga perlu dilakukan upaya penegakan hukum
dan peraturan serta usaha budidaya. Pengelolaan populasi kima berbasis
masyarakat juga merupakan hal yang perlu dilakukan. Beberapa upaya konservasi
yang dapat dilakukan, antara lain :
Menurunnya pupolasi kima di alam, antara lain disebabkan
oleh: 1) Fishing. Pengambilan / pemanenan kima secara langsung di alam
merupakan faktor utama penyebab menurunnya populasi kima di alam secara cepat,
didorong oleh kebutuhan penduduk di sekitar pantai (Pasaribu, 1988; Taniera,
1988), kebutuhan eksport (Govan dkk, 1988), dsb., 2) Penyakit dan parasit. Penyakit dan parasit
pada kima disebabkan oleh Vibrio sp., Aeromonas sp., Perkinsus sp. (Norton
dkk., 1992b;)
Braley, 1992; Sutton dan Garrick, 1993), 3) Predasi.
Terutama dilakukan oleh snail (Chicoreus ramosus dan Cymatium muricinum),
hermit crab (Dardanus deformis), dan sea bream ( Monotaxis granoculis)
(Jameson, 1976; Heslinga dkk, 1984; Perron dkk., 1985), 4) Faktor lingkungan.
Termasuk di dalamnya adalah suhu dan salinitas (Braley, 1992), 5)
Anthropogenic. Termasuk di dalamnya adalah polusi (Pearson, 1977; Juino dkk,
1989), dan 6 ) Faktor lain. Faktor lain ini adalah beberapa faktor yang perlu
diidentifikasi (Alder dan Braley, 1988; Dustan dkk., 1993).
Sebagai usaha untuk menjaga maupun mengambangkan populasi
kima di alam maka diperlukan suatu usaha konservasi melalui sistem pengelolaan
populasi kima yang tepat, termasuk didalamnya adalah penegakkan hukum dan
peraturan, restoking dan usaha budidaya. Disamping itu pengelolaan populasi
kima berbasis masyarakat juga merupakan hal yang perlu dilakukan (Ambariyanto,
2002).
Terdapat dua alasan
utama terkait dengan pentingnya pengelolaan populasi kima di alam ini, yakni
aspek ekologis dan aspek ekonomis, yaitu :
Aspek
Ekologis
Aspek ekologis dinilai
penting mengingat bahwa kima merupakan salah satu organisme laut yang hidup di
ekosistem karang. Beberapa spesies kima hidup di substrat pasir sedangkan
beberapa jenis lain hidup menempel pada karang, bahkan beberapa spesies
membenamkan diri dalam karang. Pengambilan kima di alam tidak saja akan menurunkan
jumlah populasi alam, namun juga secara langsung akan merusak ekosistem karang
di sekitarnya. Sebagai contoh, khusus untuk kima yang hidup menempel atau
membenamkan diri pada karang atau yang hidup di sela-sela karang, maka apabila
kima tersebut diambil dapat dipastikan juga akan merusak karang di sekitar
tempat dimana kima tersebut hidup, karena untuk mengambil kima harus membongkar
karang tersebut. Sehingga apabila hal tersebut berlangsung secara terus menerus
dibanyak tempat, maka akan semakin banyak karang yang rusak.
Aspek
Ekonomis
Secara ekonomis kima mempunyai nilai yang sangat tinggi,
khususnya di pasaran luar negeri dimana hewan ini menjadi organisme akuarium
yang sangat digemari. Sebagai contoh, untuk spesies Tridacna maxima yang
berukuran 2 inchi dan mempunyai warna bagus dan menarik dijual seharga US$ 40 /
ekor dalam kondisi hidup untuk dimanfaatkan sebagai hewan hias di akuarium.
Kima yang dijual ini adalah hasil budidaya yang bersertifikat dan bukan berasal
dari alam.
Sedangkan di Indonesia harga kima hidup sulit untuk
diketahui karena belum adanya perdagangan kima hasil budidaya. Namun dibeberapa
pasar tradisional. khususnya di luar Jawa, masih ditemukan beberapa orang yang
memperdagangkan daging basah kima. Pemanfaatan ini masih bersifat tradisional
dan belum sepenuhnya komersial, sehingga harganya pun masih sangat rendah.
Sedangkan di harga cangkang kima di warung-warung cindera mata di pantai –
pantai tempat wisata dijual dengan harga antara Rp 5000 hingga Rp 25 000
tergantung besar kecilnya. Harga ini sangat murah karena kondisi cangkang kotor
dan belum dilakukan perlakuan tertentu sehingga terlihat mengkilat dan bersih.
Sedangkan untuk cangkang yang sudah bersih dan mengkilat dapat dijumpai di toko
sourvenir yang menjualnya hingga ratusan ribu rupiah per pasangnya. Cangkang
kima ini, bersama-sama dengan cangkang kerang lain, bahkan menjadi komoditas
eksport dari beberapa negara termasuk Philipina.
A. BEBERAPA TAHAPAN PENGELOLAAN POPULASI KIMA
(i) Sosialisasi
Sosialisasi merupakan salah satu hal yang harus dilakukan
dengan tujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga
populasi kima dan ekosistem di sekitarnya. Peningkatan kesadaran masyarakat ini
sangat penting, sehingga kebiasaan – kebiasaan masyarakat selama ini yang
merugikan akan bisa segera ditinggalkan. Sebagai contoh, dibeberapa tempat di
Indonesia masyarakat pantai akan mengambil beberapa kima dewasa sebagai
sumbangan kepada kerabat yang sedang melakukan hajatan pernikahan. Kebiasaan
ini telah dilakukan secara turun-temurun, sehingga mereka terus melakukannya.
Sehingga apabila masyarakat tersebut sadar akan kondisi populasi kima di alam
serta adanya peraturan yang melarang pengambilan kima di alam, diharapkan
kebiasaan tersebut akan semakin menghilang.
Oleh karena itu perlu
pula disosialisasikan adanya peraturan pemerintah yang melarang masyarakat
untuk mengambil kima di alam. Kesadaran hukum ini sangat penting sehingga
masyarakat akan mengetahui konsekwensinya. Di dalam suatu sistem pengelolaan
terpadu, maka sosialisasi ini menjadi kegiatan yang harus dilakukan karena
kesadaran dan pengetahuan masyarakat terhadap sistem pengelolaan tersebut
merupakan pijakan umum bagi seluruh stakeholder yang terlibat. Sosialisasi ini
bisa dilakukan melalui berbagai cara / metoda misalnya dalam pertemuan –
pertemuan rutin yang selama ini mereka lakukan atau melalui berbagai media yang
ada.
(ii) Perlindungan Habitat dan Pengawasan
Perlindungan habitat dan pengawasan dilakukan dengan
penegakan hukum terhadap masyarakat yang mengambil kima di alam. Melalui
penegakan hukum, masyarakat akan mengetahui secara pasti bahwa hukum akan
ditegakkan kepada mereka yang melanggar. Ketidakpastian hukum akan memberikan
suatu anggapan bahwa pelanggaran hukum termasuk pengambilan kima di alam
merupakan suatu perbuatan yang tidak akan terkena sanksi hukum. Dengan
demikian, penegakan hukum dan peraturan menjadi faktor yang sangat penting
dalam upaya konservasi kima.
Seperti telah
disinggung di atas bahwa kima adalah hewan laut yang dilindungi oleh emerintah
sehingga masyarkat dilarang untuk mengambilnya di alam. Penegakkan hukum ini
menjadi sangat penting, sehingga masyarakat akan mengetahui secara pasti bahwa
hukum yang ada akan ditegakkan dan diterapkan kepada mereka yang melanggarnya.
Adanya suatu ketidakpastian hukum akan memberikan suatu anggapan kepada
masyarakat bahwa pelanggaran hukum, termasuk pengambilan kima di alam,
merupakan suatu yang tidak akan terkena sangsi hukum. Oleh karena itu faktor
penegakkan hukum dan peraturan ini juga menjadi suatu faktor penting dalam
suatu jaringan pengelolaan populasi kima di alam secara terpadu.
(iii) Restocking
Salah
satu tujuan awal dari usaha membudidayakan kima adalah untuk melakukan kegiatan
pengembalian kondisi populasi kima di alam melalui restocking. Sehingga
restocking merupakan salah satu metoda untuk memperbaiki kondisi populasi alam
suatu organisme yang rusak (menurun).
Kegiatan restocking merupakan salah satu upaya untuk
memperbaiki kondisi populasi kima di alam. Kegiatan ini dapat dilakukan dengan
pengembangan budidaya kima. Kegiatan budidaya kima merupakan salah satu
alternatif untuk mengatasi tingginya permintaan terhadap komoditas ini. Ada dua
manfaat yang dapat diambil dari kegiatan budidaya kima, yaitu : (1) untuk
memenuhi permintaan pasar. Budidaya kima merupakan kegiatan yang memiliki
prospek yang cukup baik karena harganya yang tinggi dan biaya operasionalnya
rendah. Teknik budidaya, khususnya pembesaran kima dapat disosialisasikan
kepada masyarakat melalui pembentukan kelompok peduli kima yang telah dilakukan
oleh Balai Taman Nasional Taka Bonerate, (2) untuk upaya konservasi. Anakan
kima hasil produksi budidaya dapat dimanfaatkan dalam usaha mengembalikan dan
meningkatkan populasi kima di alam. Keberhasilan kegiatan budidaya kima akan
berpengaruh terhadap berkurangnya kegiatan pengambilan kima di alam.
(iv) Kearifan Tradisional
Kearifan
tradisional (traditional wisdom) adalah merupakan suatu bentuk pengelolaan yang
bersifat adat yang telah menjadi kebiasaan dan telah dijalankan secara turun –
temurun oleh suatu kelompok masyarakat tertentu. Dalam perkembangannya, dari banyak kasus di
Indonesia, khususnya mengenai pemanfaatan sumberdaya alam, maka kearifan
tradisional sangat dikenal sebagai bagian yang sangat penting pula dalam
pengelolaan sumberdaya tersebut. Kebiasaan adat ini justru banyak yang mampu
menjaga kualitas sumberdaya yang ada, jika dibandingkan dengan sistem
pengelolaan yang modern. Hal ini terutama disebabkan masyarakat tradisional
justru lebih menghargai hukum dan lembaga adat dibandingkan dengan hukum dan
lembaga modern. Di beberapa daerah
bahkan “dikembangkan” aturan-aturan adat baru dalam rangka mengelola suatu
sumberdaya alam yang ada di sekitar mereka.
DAFTAR
PUSTAKA
Alder, J., Braley, R.D. (1988). Mass
mortalities of giant clams on the Great Barrier Reef. Abstract. In: Copland, J.W., Lucas, J.S. (eds). Giant Clams in Asia and
the Pacific. ACIAR Monograph No. 9., Canberra. p: 230.
Allo, M.K.
Setiawan, H. Dewi, I.N. Bisjoe, A.R. Nurhayati. Qiptiyah, M. 2010. Studi etnoekologi kima lubang (Tridacna Crocea) dan ikan malaja (Sigamus
Canaliculatus) di Kawasan Taman Nasional
Taka Bonerate. Laporan Hasil Penelitian
Balai Penelitian Kehutanan Makassar (Tidak dipublikasikan).
Ambariyanto dan Suryono (2001). Pelatihan teknik pembesaran kima (Tridacna
sp) pada masyarakat. INFO IV (2): 99-106.
Ambariyanto. 1995. Giant clams culture and its prospect in Indonesia.
IARDJ. 17(1) : 13-17.
Ambariyanto. 2007.
Pengelolaan kima di Indonesia: Menuju budidaya berbasis konservasi. Makalah dalam seminar nasional molusca : dalam penelitian
ekonomi, konservasi dan ekonomi. Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro. Semarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar