Selasa, 07 Agustus 2018

PENGELOLAAN KIMA (Tridacnidae)


PENDAHULUAN
                Kima (Tridacnidae) dikenal sebagai kerang raksasa dimana sebagian besar spesies yang ada di seluruh dunia terdapat di perairan Indonesia. Pada saat ini populasi kima di alam menurun sangat drastis akibat dari berbagai faktor terutama dari aktivitas manusia. Hasil survei di beberapa tempat di Indonesia juga menunjukkan rendahnya kepadatan hewan ini. Oleh karena itu untuk menjaga / melestarikan populasi yang masih ada serta meningkatkan populasi di alam diperlukan usaha-usaha konservasi. Namun dilain pihak, prospek secara ekonomis dari hewan ini sangat besar, baik sebagai hewan akuarium, makanan laut (seafood), suvenir, dan sebagainya. Mengingat pula bahwa kima termasuk hewan yang dilindungi di Indonesia dan masuk dalam Appediks II dari CITES, maka diperlukan usaha budidaya untuk memenuhi permintaan pasar berbasis pada kegiatan konservasinya.
Hewan ini mempunyai harga yang sangat tinggi di luar negeri. Tingginya permintaan kima ini mengakibatkan eksploitasi yang berlebih (overexploitation) dari populasi kima di alam, sehingga populasi tersebut menurun sangat drastis di seluruh dunia (Hirschberger, 1980;  Pearson, 1977; Villanoy dkk. 1988; Junio dkk. 1989; Ambariyanto dkk., 2000).
                Secara biologis hewan ini dikenal sebagai kerang raksasa yang termasuk dalam keluarga Tridacnidae yang hidup di ekosistem karang di wilayah Indo-Pacific. Dari utara ditemukan di wilayah Jepang Selatan hingga ke sekitar Great Barrier Reef bagian selatan. Sedangkan dari barat ditemukan di pantai timur Afrika hingga ke Negara-negara Pasifik Selatan. 

DESRIPSI KIMA (Tridacnidae)
A. TAKSONOMI KIMA   
Phylum                 : Mollusca
Kelas                     : Pelecypoda/ Bivalvia
Sub Kelas             : Eulamellibranchia
Ordo                     : Cardiaceae
Famili                    : Tridacnidae
Genus                   : Tridacna Hippopus
Spesies                 : Tridacna gigas Linnaeus, 1758
  Tridacna squamosa Linnaeus, 1758
                               Tridacna derasa Roding, 1798

B. MORFOLOGI
Morfologi dari tiap-tiap jenis ditentukan oleh bentuk bagian luar dari cangkangnya. Perbedaan-perbedaan yang khas dari cangkang dapat merupakan petunjuk bagi identifikasi sampai tingkat jenis.

Cangkang kima terdiri dari dua tangkup simetris yang terbuat dari zat kapur, yaitu unsur kalsium karbonat (CaCO3). Cangkang kima pada umumnya berwarna putih kekuningan. Permukaan cangkang bagian luar membentuk lekukan dan tonjolan yang tersusun sedemikian rupa sehingga terbentuklah bangunan seperti kipas. Pada bagian yang menonjol tersebut terdapat lipatan berupa lempengan-lempengan yang tajam dan tersusun rapih. Pada tiap-tiap jenis kima lipatan-lipatan tersebut agak berbeda.

Bagian engsel (hinge) merupakan bagian ventral, sedangkan bagian tepi yang menghadap ke atas atau bagian yang bebas merupakan bagian dorsal.  Pada bagian ventral didapatkan lubang tempat keluarnya alat perekat (bysus) yang disebut bysal oryface. Bagian dorsal merupakan bagian yang membuka dan menutup bila kerang ini tersentuh oleh suatu rangsangan. Bagian depan disebut anterior, yaitu bagian yang berada di bagian umbo mengarah kepadanya, sedangkan bagian yang berlawanan arah dengan anterior disebut bagian posterior (Mudjiono, 1988). Gambar kima dapat dilihat pada Gambar 1.


Gambar 1. Kima Tridacnidae



Perkembangan  embrio  moluska,  khususnya  jenis  kima  adalah  sebagai  berikut  :
  •   Telur  dan  sperma  terjadi  fertilisasi
  •   Setelah  12  jam  kemudian,  terbentuk  larva  trocophore  bercilia 
  •   48  jam  setelah  fertilisasi  larva  trocophore  membentuk  larva  veliger
·       Selanjutnya  berkembang  menjadi  larva  pedipveliger  yakni  veliger  yang  memiliki  kaki.      
Fase  ini  masih  berenang  bebas  dan  tak  lama  akan  mencari  substrat  yang  sesuai.
·       Setelah  berumur  9  hari  dari  fertilisasi,  larva  telah  menetap  di  dasar  substrat  dan             
mengalami  metamorfosis  menjadi  juvenil  pada  ukuran  200  µm .


C. STATUS POPULASI ALAM KIMA SAAT INI

Banyak laporan dan penelitian yang menunjukkan menurunnya populasi kima di alam di beberapa tempat di Indonesia serta di beberapa wilayah di negara lain. Brown dan Mukanafola (1985) melaporkan bahwa kepadatan kima di beberapa pulau di Karimunjawa adalah sebesar 0,001 - 0,125 individu/m2. Laporan yang lebih mutakhir menunjukkan bahwa kepadatan kima masih relatif sama, misalnya di pulau Burung dilaporkan sebesar 0,03 individu/m2 (Hadi, 2000), pulau Cemara Kecil dan Gosong Cemara sebesar 0,02 dan 0,04 individu/m2. Hasil survei terakhir menunjukkan populasi kima di Karimunjawa khususnya di taka Puspa (antara Menjangan Kecil dan Menjangan Besar) hanya sebesar 0,08 individu/m2 dan hanya ditemukan spesies kecil Tridacna crocea (Ambariyanto, 2007 tidak dipublikasikan).

Kondisi yang hampir sama juga dilaporkan, misalnya di Teluk Cenderawasih dilaporkan mempunyai kepadatan yang rendah yakni sebesar 0,07, 0,06 dan 0,06 individu/m2 di pulau Pepaya, Tridacna Atol dan Kabuai (Pranowo, 1998). Sedangkan laporan dari pulau Barang Lompo dan Bone Batang, Makassar mempunyai kepadatan sebesar 0,06 dan 0,1 individu/m2 (Ramli, 1999).  Data lebih mutakhir juga hampir sama dimana kepadatan kima di perairan sekitar Krakatau (Krakatau Kecil, Anak Krakatau, Rakata, Sebuku) sebesar 0,017 individu/m2, beberapa pulau di Kepulauan Seribu (Pramuka, Semak Daun, Karang Congkak) sebesar 0,07 individu/m2dan di perairan sekitar Manado (P Tanjung Pisok, Nudi Retreat, Batu Gosok dan Serena west) sebesar 0,03 individu/m2.

Pada umumnya hasil-hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa populasi kima di alam didominasi oleh spesies – spesies kecil seperti Tridacna crocea, T. maxima. Sedangkan spesies besar seperti T. derasa, T. squamosa. Hipippus hipoppus dan H. porcellanusi sudah sangat jarang ditemukan. Bahkan untuk spesies terbesar yakni T. gigas sudah tidak ditemukan lagi di beberapa tempat.

Dibandingkan dengan di negara-negara lain, maka kepadatan kima di beberapa tempat di Indonesia tersebut relatif lebih rendah. Sebagai contoh, di Takapoto Lagoon, North Tuamotu, Frech Polynesia kepadatan kima dilaporkan sebesar 0,14 individu /m2 (Richard, 1981), selanjutnya di Cook Island kepadatan kima dilaporkan sebesar 0,2 – 5,4 individu/ m2 (Sims dan Howard, 1988), sedangkan di One Tree Island, Australia dilaporkan sebesar 0,16 – 0,17 individu/m2 (Ambariyanto, 1996).
D. JENIS-JENIS KIMA DI INDONESIA

Di Indonesia terdapat tujuh dari sembilan jenis kima di dunia yang terdiri dari dua genera yiatu Tridacna dan Hippopus. Ketujuh jenis tersebut adalah T. gigas, T. derasa, T. squamosa, T. maxima, T. crocea, Hippopus hippopus dan H. porcellanus (Ismedi, 2010; Mudjiono, 1988). Beberapa jenis kima dapat dilihat pada Gambar 3.
Deskripsi dan habitat dari jenis-jenis kima tersebut menurut Lucas (1988) adalah sebagai berikut :

1.   T. gigas
Spesies ini adalah spesies terbesar, panjangnya dapat mencapai 100 cm dan beratnya berkisar 200 sampai 500 kg. Cangkangnya berwarna putih, menyerupai kipas (tampak dari samping) dengan lekuk-lekuk yang dalam, tepian cangkang memanjang, berbentuk triangular. Individu yang besar cangkangnya tidak dapat menutup secara menyeluruh karena perkembangan mantelnya yang sangat besar. Umumnya ditemukan di atas pasir dan di antara terumbu karang di daerah perairan dangkal, namun dapat juga ditemukan pada kedalaman 20 m. Beberapa individu bahkan terpapar selama air surut.

2.   T. derasa
Spesies ini adalah kedua terbesar, panjangnya dapat mencapai 50 cm atau lebih, cangkang putih dan halus, gigi pada tepi bibir bundar, cangkang tebal dan berat. T. derasa sering sulit dibedakan dengan spesies lain, H. porcellanus yang juga memiliki cangkang putih, sangat halus dan bibir tepian yang bundar. Juvenil dari T. derasa dan T. gigas juga serupa penampakannya. Untuk membedakan, T. gigas memiliki lekuk yang dalam pada permukaan cangkangnya. Selain itu, mantel T. derasa warnanya selalu tampak terang (biru dan hijau), sementara T. gigas biasanya berwarna tidak menarik (kuning kecokelatan hingga cokelat). Sering ditemui pada sisi terluar daerah terumbu karang pada kedalaman 4 sampai 20 m dan tersebar di lingkungan laut sekitar karang tepi dekat pulau.

3.   T. squamosa
Spesies ini panjangnya dapat mencapai 30 sampai 40 cm, cangkang yang sama sisi dengan sisik bergalur yang lebar yang membesar hingga tepian katup. Warna cangkang bervariasi, beberapa berwarna putih, atau warna kuning lemon. Kerang ini melekat dengan bysus ke karang hidup atau patahan-patahan karang pada kedalaman lebih dari 18 m pada karang yang biasanya didominasi oleh Acropora, ditemukan baik pada daerah oseanik maupun terumbu karang yang dekat dengan garis pantai.
4.   T. maxima
Spesies ini panjangnya dapat mencapai 30 sampai 40 cm walaupun sering lebih kecil, mantel berwarna cerah, cangkang memanjang ke satu sisi dengan sisik-sisik yang rapat pada daerah tepi, warna cangkang beragam mulai dari putih biasa hingga kuning, atau putih dengan sedikit warna orange. Kerang ini melekat setengah atau melekat utuh pada permukaan karang.

5.   T. crocea
Spesies ini adalah yang terkecil, hanya sepanjang sekitar 15 cm. Cangkang putih dengan sedikit warna orange-pink atau kuning baik pada sisi dalam maupun pada sisi luar cangkang. Mantel biasanya berwarna terang seperti T. maxima tetapi dapat dibedakan oleh bentuk cangkang oval segitiga. Kima ini tertanam dalam karang batu besar di permukaan terumbu karang, hanya tepi cangkang dan mantel yang dapat terlihat.

6.   H. hippopus
Spesies ini panjangnya dapat mencapai 50 cm, cangkang keras, berat dan berbentuk memanjang hingga segitiga dengan sisik atau duri kecil. Beberapa cangkang memiliki tonjolan, cangkang berwarna cokelat, abu-abu pudar atau hijau. Ditemukan di daerah berpasir pada area terumbu karang.

7.   H. porcellanus
Jenis ini lebih tipis dan lebih halus dari cangkang H. hippopus, biasanya tidak berwarna strawberry, mantel berwarna hijau zaitun. H. porcellanus mudah dibedakan dengan H. hippopus karena memiliki papillae atau tentakel di sepanjang incurrent siphon. Ditemukan hidup pada daerah berpasir sekitar terumbu karang.


E. KELIMPAHAN DAN UKURAN KIMA

Di beberapa daerah menunjukkan perbedaan kelimpahan dan ukuran kima. Salah satunya seperti yang diilaporkan oleh Chantrapornsyl et al (1996), bahwa di sekitar Pulau Lee-Pae yang terletak di pantai barat daya Thailand, kepadatan kima di wilayah tersebut adalah 24,41 individu per 100 m2 untuk jenis T. crocea dan 6,30 individu per 100 m2 untuk jenis T. maxima. Sedangkan panjang tubuh berkisar antara 2 sampai 14 cm untuk jenis T. crocea dan 2 sampai 31 cm untuk jenis T. maxima, atau ukuran tubuh rata-rata T. crocea dan T. maxima berturut-turut adalah 7,93 cm dan 11,67 cm.
Menurut Mudjiono (1988), tiap jenis  kima mempunyai ukuran yang berbeda-beda. Jenis kima terbesar adalah T. gigas. Ukuran panjang (anterior-posterior) jenis ini dapat mencapai lebih dari 100 cm. Pada awal abad ke 20 di Filipina pernah ditemukan T.gigas dengan berat 263 kg dan di perairan Sumatera ditemukan juga T. gigas yang mempunyai ukuran panjang 137 cm dan berat 230 kg. Jenis kima inilah yang sebenarnya disebut orang kerang raksasa.
  

KONSERVASI KIMA

Status keberadaan kima secara keseluruhan untuk semua jenis, dikategorikan sebagai satwa langka yang dilindungi undang-undang, yaitu Undang-Undang No.5 Tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya serta Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang pengawetan tumbuhan dan satwa. Konvensi perdagangan internasional untuk spesies tumbuhan dan satwa  liar yang terancam punah (CITES) memasukkan kelompok hewan ini dalam daftar hewan yang dilindungi sejak 1983. Saat ini, sebanyak tujuh spesies kima masuk dalam daftar merah (terancam punah) dari international Union for Conservation and Natural Resources (IUCN). 
Salah satu kegiatan konservasi yakni restocking populasi alam hanya dapat dilakukan jika kegiatan budidaya kima berjalan. Juvenil-juvenil kima hasil produksi budidaya ini dapat dimanfaatkan dalam usaha mengembalikan dan meningkatkan populasi kima di alam. 
Salah satu akibat yang signifikan dan berpengaruh positip terhadap konservasi kima dengan kegiatan budidaya adalah berkurangnya kegiatan pengambilan populasi alam untuk memenuhi permintaan dan kebutuhan masyarakat lainnya. 
Untuk itu diperlukan dukungan dari pemerintah melalui kebijakan-kebijakan yang mengarah kepada usaha budidaya berbasis konservasi, antara lain:
1.       Peraturan mengenai hasil budidaya yang dapat diperdagangkan
2.       Sertifikasi hasil produk budidaya
3.       Kebijakan mengenai usaha pengembalian populasi alam dari berbagai hewan yang masuk dalam golongan endangered species
4.       Kebijakan mengenai dukungan pendanaan terhadap usaha-usaha konservasi kima.
Pada saat ini populasi kima di alam cenderung menurun dengan sangat drastis (Ambariyanto, 2007). Untuk menjaga kelestarian populasi yang masih ada serta meningkatkan populasinya di alam, diperlukan usaha-usaha konservasi. Untuk mendukung keberhasilan usaha-usaha konservasi  juga perlu dilakukan upaya penegakan hukum dan peraturan serta usaha budidaya. Pengelolaan populasi kima berbasis masyarakat juga merupakan hal yang perlu dilakukan. Beberapa upaya konservasi yang dapat dilakukan, antara lain :

Menurunnya pupolasi kima di alam, antara lain disebabkan oleh: 1) Fishing. Pengambilan / pemanenan kima secara langsung di alam merupakan faktor utama penyebab menurunnya populasi kima di alam secara cepat, didorong oleh kebutuhan penduduk di sekitar pantai (Pasaribu, 1988; Taniera, 1988), kebutuhan eksport (Govan dkk, 1988), dsb., 2)  Penyakit dan parasit. Penyakit dan parasit pada kima disebabkan oleh Vibrio sp., Aeromonas sp., Perkinsus sp. (Norton dkk., 1992b;)

Braley, 1992; Sutton dan Garrick, 1993), 3) Predasi. Terutama dilakukan oleh snail (Chicoreus ramosus dan Cymatium muricinum), hermit crab (Dardanus deformis), dan sea bream ( Monotaxis granoculis) (Jameson, 1976; Heslinga dkk, 1984; Perron dkk., 1985), 4) Faktor lingkungan. Termasuk di dalamnya adalah suhu dan salinitas (Braley, 1992), 5) Anthropogenic. Termasuk di dalamnya adalah polusi (Pearson, 1977; Juino dkk, 1989), dan 6 ) Faktor lain. Faktor lain ini adalah beberapa faktor yang perlu diidentifikasi (Alder dan Braley, 1988; Dustan dkk., 1993).

Sebagai usaha untuk menjaga maupun mengambangkan populasi kima di alam maka diperlukan suatu usaha konservasi melalui sistem pengelolaan populasi kima yang tepat, termasuk didalamnya adalah penegakkan hukum dan peraturan, restoking dan usaha budidaya. Disamping itu pengelolaan populasi kima berbasis masyarakat juga merupakan hal yang perlu dilakukan (Ambariyanto, 2002). 
Terdapat dua alasan utama terkait dengan pentingnya pengelolaan populasi kima di alam ini, yakni aspek ekologis dan aspek ekonomis, yaitu :
Aspek Ekologis
Aspek ekologis dinilai penting mengingat bahwa kima merupakan salah satu organisme laut yang hidup di ekosistem karang. Beberapa spesies kima hidup di substrat pasir sedangkan beberapa jenis lain hidup menempel pada karang, bahkan beberapa spesies membenamkan diri dalam karang. Pengambilan kima di alam tidak saja akan menurunkan jumlah populasi alam, namun juga secara langsung akan merusak ekosistem karang di sekitarnya. Sebagai contoh, khusus untuk kima yang hidup menempel atau membenamkan diri pada karang atau yang hidup di sela-sela karang, maka apabila kima tersebut diambil dapat dipastikan juga akan merusak karang di sekitar tempat dimana kima tersebut hidup, karena untuk mengambil kima harus membongkar karang tersebut. Sehingga apabila hal tersebut berlangsung secara terus menerus dibanyak tempat, maka akan semakin banyak karang yang rusak.
Aspek Ekonomis

Secara ekonomis kima mempunyai nilai yang sangat tinggi, khususnya di pasaran luar negeri dimana hewan ini menjadi organisme akuarium yang sangat digemari. Sebagai contoh, untuk spesies Tridacna maxima yang berukuran 2 inchi dan mempunyai warna bagus dan menarik dijual seharga US$ 40 / ekor dalam kondisi hidup untuk dimanfaatkan sebagai hewan hias di akuarium. Kima yang dijual ini adalah hasil budidaya yang bersertifikat dan bukan berasal dari alam. 

Sedangkan di Indonesia harga kima hidup sulit untuk diketahui karena belum adanya perdagangan kima hasil budidaya. Namun dibeberapa pasar tradisional. khususnya di luar Jawa, masih ditemukan beberapa orang yang memperdagangkan daging basah kima. Pemanfaatan ini masih bersifat tradisional dan belum sepenuhnya komersial, sehingga harganya pun masih sangat rendah. Sedangkan di harga cangkang kima di warung-warung cindera mata di pantai – pantai tempat wisata dijual dengan harga antara Rp 5000 hingga Rp 25 000 tergantung besar kecilnya. Harga ini sangat murah karena kondisi cangkang kotor dan belum dilakukan perlakuan tertentu sehingga terlihat mengkilat dan bersih. Sedangkan untuk cangkang yang sudah bersih dan mengkilat dapat dijumpai di toko sourvenir yang menjualnya hingga ratusan ribu rupiah per pasangnya. Cangkang kima ini, bersama-sama dengan cangkang kerang lain, bahkan menjadi komoditas eksport dari beberapa negara termasuk Philipina. 

A. BEBERAPA TAHAPAN  PENGELOLAAN POPULASI KIMA

(i) Sosialisasi
Sosialisasi merupakan salah satu hal yang harus dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga populasi kima dan ekosistem di sekitarnya. Peningkatan kesadaran masyarakat ini sangat penting, sehingga kebiasaan – kebiasaan masyarakat selama ini yang merugikan akan bisa segera ditinggalkan. Sebagai contoh, dibeberapa tempat di Indonesia masyarakat pantai akan mengambil beberapa kima dewasa sebagai sumbangan kepada kerabat yang sedang melakukan hajatan pernikahan. Kebiasaan ini telah dilakukan secara turun-temurun, sehingga mereka terus melakukannya. Sehingga apabila masyarakat tersebut sadar akan kondisi populasi kima di alam serta adanya peraturan yang melarang pengambilan kima di alam, diharapkan kebiasaan tersebut akan semakin menghilang.

Oleh karena itu perlu pula disosialisasikan adanya peraturan pemerintah yang melarang masyarakat untuk mengambil kima di alam. Kesadaran hukum ini sangat penting sehingga masyarakat akan mengetahui konsekwensinya. Di dalam suatu sistem pengelolaan terpadu, maka sosialisasi ini menjadi kegiatan yang harus dilakukan karena kesadaran dan pengetahuan masyarakat terhadap sistem pengelolaan tersebut merupakan pijakan umum bagi seluruh stakeholder yang terlibat. Sosialisasi ini bisa dilakukan melalui berbagai cara / metoda misalnya dalam pertemuan – pertemuan rutin yang selama ini mereka lakukan atau melalui berbagai media yang ada.
(ii) Perlindungan Habitat dan Pengawasan

                Perlindungan habitat dan pengawasan dilakukan dengan penegakan hukum terhadap masyarakat yang mengambil kima di alam. Melalui penegakan hukum, masyarakat akan mengetahui secara pasti bahwa hukum akan ditegakkan kepada mereka yang melanggar. Ketidakpastian hukum akan memberikan suatu anggapan bahwa pelanggaran hukum termasuk pengambilan kima di alam merupakan suatu perbuatan yang tidak akan terkena sanksi hukum. Dengan demikian, penegakan hukum dan peraturan menjadi faktor yang sangat penting dalam upaya konservasi kima. 

Seperti telah disinggung di atas bahwa kima adalah hewan laut yang dilindungi oleh emerintah sehingga masyarkat dilarang untuk mengambilnya di alam. Penegakkan hukum ini menjadi sangat penting, sehingga masyarakat akan mengetahui secara pasti bahwa hukum yang ada akan ditegakkan dan diterapkan kepada mereka yang melanggarnya. Adanya suatu ketidakpastian hukum akan memberikan suatu anggapan kepada masyarakat bahwa pelanggaran hukum, termasuk pengambilan kima di alam, merupakan suatu yang tidak akan terkena sangsi hukum. Oleh karena itu faktor penegakkan hukum dan peraturan ini juga menjadi suatu faktor penting dalam suatu jaringan pengelolaan populasi kima di alam secara terpadu.
(iii) Restocking

                Salah satu tujuan awal dari usaha membudidayakan kima adalah untuk melakukan kegiatan pengembalian kondisi populasi kima di alam melalui restocking. Sehingga restocking merupakan salah satu metoda untuk memperbaiki kondisi populasi alam suatu organisme yang rusak (menurun).

Kegiatan restocking merupakan salah satu upaya untuk memperbaiki kondisi populasi kima di alam. Kegiatan ini dapat dilakukan dengan pengembangan budidaya kima. Kegiatan budidaya kima merupakan salah satu alternatif untuk mengatasi tingginya permintaan terhadap komoditas ini. Ada dua manfaat yang dapat diambil dari kegiatan budidaya kima, yaitu : (1) untuk memenuhi permintaan pasar. Budidaya kima merupakan kegiatan yang memiliki prospek yang cukup baik karena harganya yang tinggi dan biaya operasionalnya rendah. Teknik budidaya, khususnya pembesaran kima dapat disosialisasikan kepada masyarakat melalui pembentukan kelompok peduli kima yang telah dilakukan oleh Balai Taman Nasional Taka Bonerate, (2) untuk upaya konservasi. Anakan kima hasil produksi budidaya dapat dimanfaatkan dalam usaha mengembalikan dan meningkatkan populasi kima di alam. Keberhasilan kegiatan budidaya kima akan berpengaruh terhadap berkurangnya kegiatan pengambilan kima di alam. 

(iv) Kearifan Tradisional

                Kearifan tradisional (traditional wisdom) adalah merupakan suatu bentuk pengelolaan yang bersifat adat yang telah menjadi kebiasaan dan telah dijalankan secara turun – temurun oleh suatu kelompok masyarakat tertentu.  Dalam perkembangannya, dari banyak kasus di Indonesia, khususnya mengenai pemanfaatan sumberdaya alam, maka kearifan tradisional sangat dikenal sebagai bagian yang sangat penting pula dalam pengelolaan sumberdaya tersebut. Kebiasaan adat ini justru banyak yang mampu menjaga kualitas sumberdaya yang ada, jika dibandingkan dengan sistem pengelolaan yang modern. Hal ini terutama disebabkan masyarakat tradisional justru lebih menghargai hukum dan lembaga adat dibandingkan dengan hukum dan lembaga modern.  Di beberapa daerah bahkan “dikembangkan” aturan-aturan adat baru dalam rangka mengelola suatu sumberdaya alam yang ada di sekitar mereka.

DAFTAR PUSTAKA
Alder, J., Braley, R.D. (1988).  Mass mortalities of giant clams on the Great Barrier Reef. Abstract. In: Copland, J.W., Lucas, J.S. (eds). Giant Clams in Asia and the Pacific. ACIAR Monograph No. 9., Canberra. p: 230.
Allo, M.K. Setiawan, H. Dewi, I.N. Bisjoe, A.R. Nurhayati. Qiptiyah, M. 2010. Studi etnoekologi kima lubang (Tridacna Crocea) dan ikan malaja (Sigamus Canaliculatus) di Kawasan  Taman Nasional Taka  Bonerate. Laporan Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Makassar (Tidak dipublikasikan).
Ambariyanto dan Suryono (2001). Pelatihan teknik pembesaran kima (Tridacna sp) pada masyarakat. INFO IV (2): 99-106.
Ambariyanto. 1995. Giant clams culture and its prospect in Indonesia. IARDJ. 17(1) : 13-17.
Ambariyanto. 2007. Pengelolaan kima di Indonesia: Menuju budidaya berbasis konservasi. Makalah dalam seminar nasional molusca : dalam penelitian ekonomi, konservasi dan ekonomi. Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro. Semarang.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

  MENGENAL IKAN SCORPION Mengingat permintaan ikan hias dari tahun ketahun terus meningkat, maka Ikan  Skorpion Volitan (Pterois ...